Suara lantang dari seorang kernet (kondektur bus-adm) membangunkanku dalam impian sejenak yang terpaku dipinggiran jalan raya menanti tumpangan. “ Terminal…terminal…” ucap..... sang kernet. Si roda enam pun menghampiriku dan membawaku dalam beragam suasana.
Saat kaki ini melangkah ke dalam bus yang penuh oleh badan-badan tegap bercita-cita mengejar mimpi melalui dorongan si roda enam, aku menaruh segenap raga disudut tengah, berhimpit dengan kepenatan dan sesaknya peluh,ohh…inikah sarana menuju cita-citaku? Tanya hati ini.
Berulang kali fikiran ini terganggu oleh suara gaduh sang kernet yang meminta bayaran dari asap yang dihembuskan oleh si roda enam. Ongkos..ongkos…ongkosnya bu..mas..mbak. Huh..apakah tak lelah orang itu, aku yang hanya mendengarnya pun terasa penat apalagi ditambah adanya suara sambutan dari beberapa orang yang tergolong sebagai grup pengamen, salam pembuka yang begitu sopan selalu mengawali lagu yang akan mereka dendangkan. “ Permisi…bapak ibu..mas mbak..adik..selamat pagi dan salam sejahtera,” itulah yang seringkali mereka ucapkan. Begitu menaruh hati, tapi kadang aku mengabaikannya.
Sejenak kemudian mereka mulai menyuarakan musik yang ia ciptakan dari alat-alat yang mereka bawa, ada yang genjrang-genjreng….tipak-tipung…suara yang bercampur gaduh menjadi santapan setiap waktu dan menemani perjalanan dengan si roda enam. Tak lama kemudian mereka sang grup pengamen mengulurkan sebuah kantong yang seringkali berasal dari bungkus permen, mereka meminta upah dari suara-suara yang telah mereka dendangkan. Namun tak banyak yang memberi walaupun hanya seratus perak, begitu juga aku, yang kadang menyisikan beberapa koin tapi kadang ku hanya mengabaikannya.
Setelah mereka menyuarakan kembali kata-kata pamit dan ucapan terimakasih, merekapun turun dari si roda enam dan bergegas mencari roda enam yang lain. Aku merasa lega dengan hal itu karena aku merasa berkuranglah rasa gaduh dan penat yang tercipta di dalam sempitnya si roda enam.
Tak cukup itu, aku juga merasa lega karena mata ini telah melihat suatu bangunan yang nampak jelas berdiri di pinggir jalan, seketika aku langsung beranjak dari singgasana tak nyamanku dan kernetpun tau maksudku, lalu ia berkata “ yok kampus..kampus..kiri…kiri…kampus ungu…” akupun melangkahkan kakiku keluar pintu si roda enam dan mendapati diriku ada didepan tujuanku, segenap sambutan terurai mulai dari bagian pertama bangunan itu hingga bagian ke tiga. Itulah…sambutan dari ungunya kampusku…kampus ABA SINEMA… WEKKKKKEEEEEKEEEEKKK…………………